Dikir

DIKIR, Tradisi Pengobatan Suku Sakai di Tengah Gelombang Perubahan


'Dikir' ceremony

'Dikir' ceremony

Catatan perjalanan ke Riau 17-20 Januari 2009
Perjalanan dari Pekanbaru saya tempuh dengan jalur darat menumpang travel berjenis Avanza. Rute Pekanbaru-Duri hanya memakan waktu tiga jam kurang dan sepanjang jalan kendaran kami melintasi kompleks Chevron yang tertata rapi diseling rumah-rumah staf perusahaan minyak itu. Menurut Pak Nardia, sopir travel, perusahaan Chevron yang awalnya adalah perusahaan asing baru-baru saja menemukan lagi 22 titik pengeboran. Sudah tentu aktivitas pengeboran ini, menurut dia selain akan mendatangkan rejeki untuk para pemilik perusahaan (asing) akan membuka lapangan kerja bagi para pendatang, yang, katanya lagi, ‘dikuasai’ oleh alumnus dari sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Jawa Barat. Pak Nardia sendiri mengakui, setelah kendaraan kami hampir mendekati Duri dan tinggal kami berdua di mobil, bahwa dia pernah bekerja sebagai salah satu staf kontrak untuk Chevron (dahulu Caltex) di salah satu divisi teknis. Dua belas tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Pak Nardia sehingga ketika pensiun, dia bisa menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Pak Nardia memang ‘orang asli’ dari Riau, dan dia menyebut saya yang pendatang sebagai ‘orang kita Jawa’.

Memang perekonomian di Pekanbaru sebagai ibukota provinsi saat ini dapat dikatakan ditopang oleh urban sectors yang dimiliki oleh beragam etnis. Keberadaan Chevron membuat Provinsi Riau dapat disebut sebagai ‘Texas’. Jika kita berjalan-jalan di kota Pekanbaru, gemerlap lampu dari pusat-pusat perbelanjaan yang notabene berskala menengah-atas dipegang oleh kalangan etnis Cina. Orang Minang dan sebagian pedagang juga berasal dari Bugis. Komposisi etnis yang beraneka ini juga telah ditelusuri oleh antropolog Parsudi Suparlan dalam bukunya ‘Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia’ (YOI, 1995). Di pusat kota Pekanbaru, gedung-gedung pemerintahan berarsitektur Melayu berdiri megah. Sudah barang tentu yang termegah adalah kantor Gubernur Riau.

’Petualangan’ saya ke Riau kali ini adalah untuk ‘mengikuti’ perjalanan riset Dina, program officer Yayasan Interseksi yang melakukan penelitian tentang transformasi identitas orang Sakai di Riau. Siapa sangka di balik kegermelapan urban di Pekanbaru, saya akan menemukan berbagai sisi yang tampaknya paradoks?

Setiba di Duri, saya langsung menuju ke sebuah motel bertingkat, “Fadjar” yang terletak dekat pertigaan jalur bis dari Duri ke Pekanbaru. Dengan harga menginap 70 ribu per hari, fasilitas kamar tersebut adalah dua bed ukuran kecil dan satu kamar mandi. Saya tidak merasakan ada perbedaan antara suasana kota Duri dengan kota Depok di Jawa Barat, di hari pertama ini, mungkin karena baru satu jam-an sampai. Di luar hotel, kendaraan tampak sibuk lalu lalang dan sejauh mata memandang dalam jarak satu kilometer, ruko-ruko berjajar rapi di pinggir kanan dan kiri jalan raya yang beraspal mulus. Satu hal yang saya perhatikan, ketika sempat datang ke sebuah warung untuk makan, di dekat pertokoan itu terletak rumah sakit swasta yang tampaknya selalu ramai pengunjung, bahkan ketika hari menjelang malam. Saya coba menanyakan, apa umumnya penyakit atau keluhan yang diderita oleh warga di kota Duri? Menurut perawat, ISPA (infeksi saluran pernapasan), yang disebabkan oleh hirupan debu yang beterbangan oleh frekuensi lalu lintas truk dari perusahaan minyak yang lalu lalang.

Hari pertama saya sampai di Duri kemudian membawa saya dalam percakapan panjang dengan Dina, peneliti yang telah dua minggu tinggal di Desa Pinggir Kecamatan Pinggir. Selama dua minggu Dina telah beradaptasi dengan lingkungan yang bisa menerimanya sebagai peneliti untuk meng’amati’ apa yang terjadi dengan orang Sakai. Saya mendapat kesan bahwa Dina telah melalui proses awal yang cukup panjang sebelum mendapatkan ‘rapport’ yang baik dari orang-orang yang ditemuinya hingga akhirnya, bisa diterima untuk tinggal di rumah warga di Desa Pinggir. Keluarga Anshari, tuan rumah Dina, kami temui di hari kedua lawatan ke Duri. Desa Pinggir hanya berjarak sekitar 20 kilometer ke arah Pekanbaru dan dari Duri kami tempuh dengan menggunakan mikrolet yang bertarif enam ribu rupiah. Sesampai kami di Desa Pinggir, kendaraan berhenti tepat di tepi jalan. Kami menyusuri jalan kecil di tengah desa yang hari itu tengah dipadati oleh  lalu lalang orang-orang yang  bertransaksi di pasar pagi hingga sampai ke rumah Keluarga Anshari. Desa Pinggir juga cukup “urbanized” dengan ruko-ruko padat di kanan-kiri jalan, perumahan penduduk yang rapi di kanan kiri jalan, kantor pemerintah desa, bangunan mushalla kecil milik Tarekat Naqsabandiyah di ujung jalan, dan lain-lain simbol modernitas daerah transisi. Lenyap sudah ‘imajinasi’ bahwa daerah ini adalah wilayah terasing atau tertinggal, sekaligus menyisakan pertanyaan, bagaimana keadaan Orang Sakai kini di tengah semua perubahan itu.

Dalam perbincangan yang akrab dengan tuan rumah– kami ditemui oleh anak sulung perempuan keluarga Anshari di dapur yang terletak di bagian belakang rumah—diketahui di desa Pinggir, yang termasuk wilayah Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis ini akan ada upacara penyembuhan tradisional Sakai jam delapan malam. Kebetulan, sebab awalnya agenda kami adalah ke daerah Rokan, yang dapat dicapai dalam waktu kurang lebih satu setengah jam dengan sepeda motor atau bis. Daerah Rokan, menurut cerita masyarakat Desa Pinggir adalah tempat dimana mayoritas orang Sakai sekarang tinggal. Desa Pinggir sendiri menurut Bu Anshari, yang menganut agama Islam sejak setahun yang lalu, adalah wilayah asli Sakai, tempat nenek moyang mereka. Sebagian besar orang Sakai yang tidak mendapat lahan rumah atau pekerjaan berpindah ke Rokan.

Orang Sakai, tutur Bu Anshari yang baru pulang dari mengantarkan makan siang ke Mushalla Tarekat Naqsbandiyah dimana suaminya tengah menjalankan ritual suluk, memang masih banyak yang tertinggal. Bu Anshari sendiri bekerja sangat keras. Anak bungsu keluarga Anshari, yang memiliki enam orang anak, saat ini setelah selesai dari pendidikan tinggi kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan ditempatkan di daerah Melibur yang cukup jauh dari Duri. Mungkin juga, menurut Bu Anshari, orang Sakai tertinggal karena tidak punya pendidikan dan hidupnya senantiasa di hutan. Namun, “hutan kan sudah habis, maka orang Sakai juga harus bekerja di kota sebagaimana orang-orang lain”. Maka, tanah mereka disewakan pada pendatang untuk dijadikan ruko. Ruko-ruko yang berjajar di sepanjang pasar Desa Pinggir ada enam buah yang pemiliknya adalah orang Sakai. Kepala Desa Pinggir juga orang Sakai, dan sore hari itu pengobatan tradisional akan dilangsungkan terhadap mertua dari Sekretaris Desa, yang merupakan keturunan orang Sakai dan Jawa.Penutuan Bu Anshari mengingatkan saya pada cerita-cerita mengenai perubahan pola ekonomi secara drastis yang juga dialami oleh orang-orang yang bertempat tinggal di pedalaman Kalimantan, atau Jambi, atau di sekitar Sungai Alas di Kabupaten Alas. Tetapi tampaknya, perubahan ekologis, sosial, kultural yang dialami oleh orang Sakai ini juga ‘dibantu’ oleh kenyataan bahwa Provinsi Riau mendapatkan ‘penghasilan’ dari eksplorasi minyak yang pipa-pipa pabriknya terentang sepanjang jalur 3 setengah jam dari Pekanbaru ke Duri.

Belum juga matahari meninggi di atas kepala, kami sudah mendengar cerita mengenai ‘konflik politik’ yang sempat menimpa Pak Anshari dan meninggalkan trauma emosional. Di tengah percakapan kami, datanglah seorang tamu perempuan yang masih keluarga Bu Anshari mengabarkan mengenai persiapan pembuatan sajian untuk upacara itu. Kami pun lalu pergi ke rumah si pemilik hajat, sebuah rumah panggung sederhana beralas kayu dan berdinding kayu yang berlokasi di tepi jalan raya Duri-Pekanbaru. Kami pergi ke rumah tempat pengobatan diantarkan dengan sepeda motor yang dikemudikan oleh anak bungsu Bu Anshari yang masih kuliah semester lima. Dia bercita-cita bekerja di bidang hokum, dan tertarik pada pemberantasan narkoba. Ini mengingatkan saya pada banyaknya stiker dan spanduk anti narkoba yang bertebaran di Kota Pekanbaru, dan juga di beberapa sudut kota di Duri. Bu Anshari dan keluarganya tidak lagi mengikuti prosesi tradisional Dikir sebab mereka sudah memeluk agama Islam. Namun demikian, hubugan kekerabatan masih berlangsung dengan cukup akrab.

Di tengah ruangan rumah tempat upacara akan berlangsung, sudah tampak laki-laki dan perempuan, semuanya kurang lebih dua belas orang duduk bersila merangkai sejenis daun yang tampaknya seperti daun kelapa, disebut lembia sebagai dekorasi dari miniatur rumah adat Melayu yang diminta oleh dukun upacara Dikir.

Dalam proses pembuatan dekorasi upacara, kami berbincang dengan Pak Sekdes Pinggir, yang menceritakan bahwa mertuanya lah yang nanti malam akan diobati oleh dukun. Menurut Pak Sekdes, keluarga sudah berusaha kemana pun untuk menyembuhkan sakit mertua, hingga akhirya mereka memutuskan untuk mencoba pengobatan tradisional Sakai yang disebut dikir ini, menurutnya, “berusaha kan wajib hukumnya”.

Dikir, menurut pengamatan Parsudi Suparlan adalah metode pengobatan asli orang Sakai yang dilakukan jika si sakit tidak sembuh juga walaupun telah diobati (Orang Sakai: 1995, hlm.206). Dukun yang akan menentukan apakah bentuk medium dari pengobatan itu yang didapatnya melalui semacam ilham. Prosesi pengobatan memerlukan beberapa persiapan khusus yaitu adanya perlengkapan seperti instrumen tetabuhan (kendang besar dan kecil) untuk mengiringi mantra yang dinyanyikan dukun; dan sebuah gong kecil. Selain itu, untuk melengkapinya, kami melihat para kerabat dan tetangga yang ikut mempersiapkan upacara pengobatan tengah membuat rumah adat Melayu yang berasal dari batang pohon belubi, menurut Pak Sekdes, sudah sangat jarang ditemukan di daerah itu. Bahkan mereka harus membelinya untuk dibuat sebagai rumah mini perlengkapan upacara pengobatan. Ibu-ibu merangkai lembaran lembia menjadi hiasan burung-burungan, bunga, yang diselingi dengan kertas emas berwarna merah atau hijau, lalu dirangkai dan diletakkan di sisi kanan dan kiri, serta bagian depan dari miniatur rumah adat Melayu.
Miniatur rumah adat ini, setelah jadi tampak sangat cantik arsitekturnya dan seolah dibuat dengan presisi yang tinggi. Setiap ruas atap dihiasi dengan ukiran yang pembuatannya hanya dilakukan dengan mencongkeli batang pohon belubi yang lentur dan mudah dibentuk itu dengan pisau tajam. Sekitar 4 orang ‘membangun’ miniatur rumah itu. Menurut salah seorang warga yang mengukir hiasan, rumah adat itu adalah simbol dari rumah ‘antu’ yang menempel pada si sakit. Umumnya dalam miniatur rumah itu juga ditaruh dekorasi lainnya seperti boneka kecil, dan pada hari tertentu rmah beserta isinya dibawa keluar dan diletakkan di daerah yang ditengarai sebagai asal dari sumber penyakit. Harapannya adalah antu pergi setelah memiliki tempat tinggal, dan penderita sembuh. Suasana siang di rumah itu sangat akrab dengan Pak Sekdes menerangkan pada kami apa makna upacara ini. Kami tidak bisa berbahasa Sakai, maka Pak Sekdes akan membantu menerangkan makna dari mantra-mantra yang akan dinyanyikan oleh Dukun. Kami mendapatkan informasi bahwa sebuah stasiun televisi swasta pernah mengambil gambar prosesi Dikir yang skalanya cukup besar.

Sekilas saya teringat pada prosesi pembuatan perlengkapan upacara agama Hindu atau sesajian pada tradisi Kaharingan di Kalimantan Tengah; sebab teknik merangkai daun untuk sesaji hampir sama. Selain miniatur rumah dan dekorasi anyaman, ada juga perlengkapan upacara lainya yaitu obor kecil yang dinyalakan di sisi belakang miniatur rumah, beras, lilin. Menurut Pak Sekdes, kemampuan seorang dukun diwariskan dan diperoleh secara turun temurun. Itu pun tidak semua keturunannya mempunyai atau dikaruniai bakat untuk menjadi dukun. Dalam tulisan Parsudi Suparlan, seseorang menjadi dukun karena tiga hal (1) melalui wangsit dari ‘antu’ bahwa dia haru menjadi dukun; (2) mewarisi keahlian bapaknya atau pamannya; (3) menuntut ilmu dari dukun lain. Umunya dukun yang masih menjalankan upacara tradisional Dikir adalah laki-laki, meskipun ada juga dukun perempuan

Malam hari pun tibalah. Kami datang lagi ke rumah itu jam delapan malam. Dikir harus dilaksanakan pada malam hari sebab menurut Pak Dukun, alam para antu dan manusia saling terbalik. Siang hari bagi manusia adalah malam bagi para antu. Malam bagi manusia adalah siang bagi para antu. Ruang tengah di rumah panggung itu sudah agak ramai karena sebagian ibu-ibu telah berkumpul di sisi kanan ruangan ke arah teras belakang, di dekat pintu masuk duduk para bapak dan di tengah ruangan terletak miniatur rumah adat Melayu yang bersinar terang dengan hiasan bungan-bunga di kanan kirinya. Perlengkapan upacara, satu buah gong dan satu buah kendang sudah tersedia di belakang dan sisi kiri miniatur rumah. Pak Dukun Mansyur, tengah duduk bercakap-cakap sambil merokok dengan para tamu termasuk mertua Pak Sekdes yang akan diobati. Upacara dimulai dengan menyalakan lilin dan obor, dimana Pak Dukuns ambil duduk bersila di hadapan miniatur rumah, lalu mengenakan atribut upacara: ikat kepala berwarna merah, selempang berwarna merah, dan bertelanjang dada. Pak Dukun pun mulai membacakan mantranya dan dia pun berdiri mengambil sejumput campuran beras antara lain beras putih dan kuning, yang disebar-sebarkan ke seluruh sudut ruangan. Proses ini diulang kurang lebih tiga kali dan di antara proses itu, Dukun mendekati si sakit untuk membacakan mantra seraya menari-nari dengan iringan tetabuhan kendang yang sesuai dengan ritme mantranya yang dinyanyikan dengan lantang. Suara tetabuhan yang dilakukan oleh satu orang terdengar ritmis, dan magis. Poses pengobatan berlangsung kurang lebih satu setengah jam, dan setelah selesai, pak dukun kembali menanyakan apakah masih perlu ditambah lagi pengobatannya. Pak Dukun tidak bisa langsung beristirahat setelah menghabiskan energinya mengobati mertua Pak Sekdes. Sudah antri beberapa ibu yang menggendong anak-anak yang tampaknya antusias, tidak takut, ketika mengikuti tarian Pak Dukun, untuk diobati. Pak Dukun mendekati anak-anak itu sambil melontarkan peranyaan dan gurauan, apa yang sakit? Anak-anak di dalam pangkuan ibu mereka dengan sabar menanti elusan tangan Pak Dukun di kepala, atau di tangan, atau di bagian mana yang dikeluhkan sakit; diperdengarkan mantra, dan berharap akan segera sembuh. Api obor baru dipadamkan jika si sakit tidak lagi minta diobati malam itu. (IHG)