“Memori Tentang Senja”


Termenung di halaman rumah, sekali lagi, dan suara-suara binatang malam terdengar lirih berterusan.

Sekejap bayang peristiwa menyeruak di hadapan menjadi beberapa siluet yang tak asing bagiku.

Siluet-siluet yang bisa berkata,berkejaran satu dan lainnya, akhirnya menyatu, dan bersuara.

Alangkah muskilnya duduk diam hanya menyaksikan, menghirup udara namun tak menyentuh apa-apa.

Lalu siluet itu mengusik permenungan, berbicara dalam bahasa yang tak asing di telingaku.

Ini awanku. Ini bintangku. Ini langitku. Ini senjaku. Ini tanahku. Mana milikmu? Tanyanya.image
Hembusan angin memainkan anak- anak rambutku. Pertanyaanmu sulit kujawab. Aku hanya memandang senja, itu saja. Bukan untuk kumiliki.
Siapa aku untuk memiliki apa-apa?

@gayatriveda August 5, 2013

‘Ode untuk Jakarta’


Jakarta adalah kelip lampu, asa yang tumbuh- terwujud-terempas,hasrat, cinta, debar, senyum, canda, tangis dan tawa.

Jakarta adalah ruang bagimu tanggalkan topeng yang menutup jerit kesepian.



Jakarta menerima tanpa tanya hadirmu, gaduhmu, kesakitanmu, keputusasaanmu, kegembiraanmu. Dia telan semua.



Jakarta adalah tempatmu yang bernyali, mengurai isi kepala, mempertaruhkan maksud hati.

Jakarta adalah arena bertarungmu, bercumbu, berjabat tangan dan berharap untuk bersatu lagi..



Jakarta adalah kepekaan yang terasah oleh deru waktu.

 

@gayatriveda August,3, 2013


‘An ode to the birthday man’

Morning has broken, and so is silence.

When thousand words are not enough to say I love you.



The air breeze when my soul screams I miss you.



Am among the crowd but you re the only one visible.



Smells like falling leafs on the earth after rain, that’s says enough on our feelings within..



@gayatriveda July 25, 2013

Tony Q at Taman Fatahillah



Soul rebel: TONY Q, Rastafaras with Good Deeds

Young rasta at Tony Q's Concert , Taman Fatahillah Jakarta March 1,2009
Young rasta at Tony Q’s Concert , Taman Fatahillah Jakarta March 1,2009

The restless crowd cheered two performers in last night’s UPC’ (Urban Poor Consortium)’ s open concert for the upcoming general election at Taman Fatahillah, Jakarta Barat. As Dodo, the master of ceremony frequently told young audience “Hentak Rasta Mengubah Indonesia, Tolak Politisi Busuk” (Rhythm of Rasta Changes Indonesia, Reject Rotten Politicians) the first performer, Surip Rasta entertained us with his satiric fashion on politics, daily gossip, and of course, a guitar.

open concert at Taman Fatahillah march 1 2009
open concert at Taman Fatahillah march 1 2009
an energic 60 yrs who sang a comical lyric "Bangun Tidur" (waking  up from sleep)
an energic 60 yrs who sang a comical lyric “Bangun Tidur” (waking up).
evening of Tony q's concert March 1,2009
evening of Tony q’s concert March 1,2009

..finally…the famous Rastaman, Tony Q hit the stage! and the crowd cheered for more songs.

UPC concert at Taman Fatahillah March 1, 2009
UPC concert at Taman Fatahillah March 1, 2009

..and attracted us with his words, guitar rhythm, and unstoppable reggae beat!!!!!

hentak rasta March 1 2009
hentak rasta March 1 2009
UPC open concert at Taman Fatahillah March 1, 2009
UPC open concert at Taman Fatahillah March 1, 2009

..peace be unto you

rasta for good politics and peace
rasta for good politics and peace

more, Tony Q!

..hail to the reggae
..hail to the reggae

Peace!

Mbah Surip Rasta: Peace Be Unto You


“MBAH SURIP: Peace Be Unto You”

The down-to earth rastaman Mbah Surip died on Tuesday August 4th,2009 at 10 AM in Depok West Java. He had some “moments” in Indonesian media as his song, “Tak Gendong” ( I ll carry you) which created in 1983 was and is still heard all over the country.

"Bangun tidur..tidur lagi" Mbah Srip (Granpa Surip) was a famous rastaman who enjoyed several months of popularity in Indonesian music scene between April to August 2009. enjoyed someties abroad in forein companies  later he went back to Indonesia as street musician in Jakarta and joined some of famous names in Indonesian music. He left many people astonished with his simple yet melodic and powerful rhythyms.

Mbah Surip (Granpa Surip) was a famous rastaman who enjoyed several months of popularity in Indonesian music scene between April to August 2009. Enjoyed sometimes abroad working in foreign mining companies later he went back to Indonesia as street musician in Jakarta and joined some of famous names in Indonesian music. He left many people astonished with his simple yet melodic and powerful rhythm. Some said his refuge a day before to the house of comedian Mamiek Prasetyo was to hideaway from journalists who swarmed around his rented house.

Gus Dur dan Papua


Salah satu ikon demokratisasi pasca Soeharto adalah mengemukanya kebebasan untuk mengedepankan aspek primordial yang bersumber dari banyak sisi: agama, etnisitas, ideologi, orientasi seksual dan lain-lain. Jika keberagaman, dalam literatur studi ilmu humaniora dimaknai dalam kerangka multikulturalisme dan bukan sekedar pluralisme, maka sejarah Nusantara, yang saat ini lebih dikenal sebagai Indonesia, sudah menunjukkan keniscayaan bahwa bangsa ini sejatinya multikultural.

Keberagaman kultur Nusantara inilah yang menjadi salah satu titik tolak dari pemikiran Abdurrahman Wahid yang lebih akrab dipanggil dengan Gus Dur–sebutan ini tidak hanya mencerminkan konteks sosiologis dari si empunya nama namun juga merupakan panggilan sayang dari para sahabat, sahibul bait, keluarga, bahkan kalangan yang dahulu merupakan lawan-lawan politiknya—mengenai pandangan multikultural dan bagaimana hal ini senantiasa dijadikan Gus Dur sebagai “mata uang” untuk berhubungan dengan sesama manusia di Nusantara.

Salah satu wujud dari ide Gus Dur yang berkarakter rekonsiliatif melalui pengakuan keragaman dan lokalitas budaya adalah, selain mencabut larangan untuk merayakan Hari Raya Imlek , dia memperbolehkan penggunaan atribut daerah Papua. Sebagai kepala negara ketika dia memberlakukan kebijakan politik tersebut, sudah pasti menyebabkan lebih banyak politisi di Jakarta yang gerah, termasuk dari kalangan militer. Jika ditelisik lebih jauh, keputusan Gus Dur itu menjadi fondasi penting bagi perspektif pembangunan perdamaian jangka panjang. Logika yang melandasinya saya kira sederhana: mengakui identitas kelompok dan/ atau individu. Sebab tak dapat dipungkiri, sejarah Indonesia sarat dengan perlakuan politik yang tidak seimbang oleh Jakarta yang mengingkari identitas kultural dan hak ekonomi politik daerah-daerah, sehingga terjadilah berbagai tragedi yang memakan anak-anak bangsa. Sebut saja, Aceh dan Papua, semua dihadapi dengan lindasan tank, sepatu lars, dan “stick and carrot policy” dari pemerintah pusat, di mana lebih banyak “wortel busuk” yang diberikan pada daerah daripada sebaliknya.

Menurut saya, di masa jabatannya sebagai kepala negara yang singkat itu, sebetulnya Gus Dur telah memikirkan semua alasan keputusan pembolehan penggunaan identitas kultural Papua jauh-jauh hari. Gus Dur memutuskan dibolehkannya Papua mengekspresikan simbol-simbol identitas untuk mengembalikan kebanggaan daerah. Jika Papua bangga, setidaknya akan lebih mudah untuk berdialog. Ini barangkali memang pragmatis, tetapi dalam konteks politik Indonesia pasca Soeharto, merupakan terobosan yang sangat luar biasa. Bilveer Singh, dalam “Papua, Geopolitics and the Quest for Nationhood” (UK: Transaction Publishers, 2008) menyebutkan delapan kali nama Abdurrahman Wahid dalam index, dibandingkan Habibie yang hanya disebutnya tujuh kali. Menurut catatan Bilveer Singh, Presiden Gus Dur berupaya memperbaiki hubungan sehingga lebih positif antara Jakarta dan Papua. Pada bulan Januari 2000 Presiden Gus Dur mendeklarasikan pengubahan nama Provinsi Irian Jaya untuk dikembalikan menjadi Papua Barat (Papua), namun kalangan DPPRI menolaknya pada bulan Agustus 2000. Meksipun “angin segar” ini menyenangkan hati rakyat Papua, keinginan untuk merdeka yang semakin besar cukup menekan posisi GD sebagai presiden, yang, saya percaya hal ini lahir dari perspektifnya yang jernih mengenai perdamaian, menekankan pada perkunya mengedepankan dialog dan komunikasi politik . Meskipun menyatakan tidak terhadap keinginan untuk merdeka, namun Presiden Wahid tetap menekankan keperdulian terhadap masalah di Papua dan akan selalu mendengarkan suara rakyat (Singh: 2008, hlm. 107).

Selain membatalkan keputusan politik di masa Presiden Habibie untuk membagi Papua menjadi tiga provinsi, keperdulian ini ditunjukkannya dengan memfasilitasi Kongres Nasional Papua II yang berlangsung pada 30 Mei hingga 4 Juni 2000 yang dihadiri oleh 3000 orang, didengar oleh ratusan ribu orang melalui radio. Rekomendasi dari Kongres Nasional Papua II tersebut diberikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid, walaupun Presiden tetap menolak tuntutan kemerdekaan yang dihasilkan oleh peserta kongres. Menurut Willy Mandowen, Sekretaris FORERI yang menjadi fasilitator kongres, “komitmen Presiden Abdurrahman Wahid untuk mendekati rakyat Papua dengan cara kemanusiaan adalah jalan terbaik”.

Pada 1 Januari 2001, “kado” dari Presiden Abdurrahman Wahid kepada bangsa Papua adalah pemberlakuan status Otonomi Khusus Papua, meskipun kebijakan tersebut hingga saat ini pelaksanannnya bermasalah. Setelah Presiden Gus Dur dilengserkan, Presiden Megawati melegitimasi UU Otsus Papua pada 22 Oktober 2001. Masa pemerintahan Megawati pun gagal mencapai situasi damai di Papua sebab pada saat UU Otsus diberlakukan terdapat UU lain yang menghambat yaitu UU No 45/1999 memgenai pemekaran Papua menjadi tiga provinsi. Pemerintahan SBY yang kemudian mengeluarkan PP No. 77 Tahun 2007, melarang penggunaan atribut daerah yaitu bendera Bintang Kejora, simbol Burung Mambruk, dan lagu Hai Tanahku Papua. Upaya perdamaian di papua hingga saat ini pun belum menemui titik terang. Jangankan memperbolehkan penggunaan simbol, jaminan pemberlakuan Otonomi Khusus Papua yang telah menjadi “carrot” sejak diundangkan pertamakalinya saja tidak terjadi. Tak heran jika kemudian saudara-saudara di Papua menuntut berpisah dari republik.

Apa yang diharapkan dari republik yang mengedepankan kekuatan senjata ketika rakyat dimiskinkan oleh keputusan politik Otonomi Khusus yang hanya “dimakan” oleh para elite daerah dan dibiarkan oleh pemerintah pusat? Apa yang diharapkan oleh rakyat yang tidak diakui eksistensinya di hadapan saudara-saudara lainnya?

Rekognisi terhadap Papuanness sudah diberikan oleh Gus Dur yang sensitif terhadap pendekatan cultural, namun hal ini tidak dilanjutkan oleh para “negarawan” berikutnya, yang lebih condong pada perspektif integrasi berdasarkan kedaulatan teritorial konvensional. Gus Dur jika dilihat dari kiprah diplomasi luar negerinya juga lebih menyukai metode people to people approach, sesuai dengan tuntutan jaman. Lihat saja sudut pandangnya terhadap hubungan luar negeri dengan Israel atau Cina. Namun tampaknya, bagi negara yang pandangan politik luar negeri (dan dalam derajat tertentu, termasuk politik dalam negeri) masih dihegemoni oleh perspektif pasca Perang Dingin ini, menjaga keutuhan territorial, dan dengan demikian, menjadikan keamanan dalam negeri sebagai panglima masih lebih diutamakan daripada bersusah payah membangun kepercayaan rakyat melalui pendekatan yang lebih cultural sensitive. Sudah pasti pendapat ini akan menuai banyak ketidaksetujuan, apalagi jika dikaitkan dengan adagium “cultural is political”. Gus Dur telah “meninggalkan” warisan sejarah yang masih relevan untuk dipelajari jika kita masih ingin melihat masa depan kebangsaan dan kemanusiaan.

Identity, minority, and freedom of expression


http://www.thejakartapost.com/news/2009/11/21/identity-minority-and-freedom-expression.html

Irine Hiraswari Gayatri ,  Jakarta   |  Sat, 11/21/2009 12:12 PM  |  Opinion

Indonesia has been able to transform itself into a very democratic country after the fall of Soeharto in 1998. But are we really democratic? Reality shows it is not easy as that, especially for those in the minority.

Being a non-religious person among religious ones is a big problem. Being ethnically different. Being the only girl among men. Being the leftist among the rightists. Being the gay or lesbian among the straights. Even not wearing the same attire as your fellow countrymen.

Like the newest phenomenon that happened just recently, when the 18-year-old Qory Sandioriva won the prestigious beauty contest, Putri Indonesia 2009. Her victory can be seen from different perspectives. She openly said she was not interested in wearing jilbab (scarf).

For those who defend individual rights, it is a sign of personal freedom. Do what is best for you, and then heaven will open its doors. However, from another perspective, which is very local, representing collective rights (of the so-called Aceh Province), it could be claimed that it makes her representation of Aceh problematic.

She had answered in an interview though, that her victory should not be responded with controversy. She did it willingly, as an individual with a multi-identity background, which is shaped mostly by the culture in Jakarta. Yet she represented Aceh in the pageant battle.

What does Sandioriva’s win tells us? She was not forced to join the content. Growing up in the urban Jakartan landscape, one can be from any province in this huge country. She might have only slightest memory about Aceh but more abundant knowledge about Jakarta or cosmopolitan culture in her soul.

But that only tells us that there is no certainty in terms of identity. Nothing negative about this fact. I am a Jawa-Sundanese born abroad who grew up in Jakarta. I choose to be a Tangerang (Banten province) resident.

Identity is very much flexible. It is impossible to think diametrically now that one must bear the same primordial tenets as their predecessors.

Identity becomes rigid when one or a regime tries to put it into a closed box. Power also becomes an arena of contention among different groups. Identity becomes a dangerous tool when people in power mobilize it on their own behalf.

Take a look at history. People discriminate against others based on race, religion, ethnicity and ideologies. This is not to say that attributes are not necessary. Perhaps in specific context, time and place, attributes especially social ones, are needed. It becomes a signifier of “us” and “them”. Of otherness. The problem comes when it plays into the “othering” process. That begins with minoritization.

Indonesia is full of such stories, like during the late 1960s when fellow ethnic Chinese countrymen were forced to change their names on behalf of assimilation politics. When animists, non-believers, sympathizers, or political leaders from the “left” were pushed aside to Buru Island.

When all students from People’s Democratic Party (PRD) in 1996 were accused of being communists and thus subjected to arbitrary arrests, torture and disappearances.

But those are the extreme examples. More simple practices on how minoritization is taking place daily. How a family excluded daughters or in-laws for getting married to someone of a different religion. How women in Indonesia suffer from being extorted when they marry a foreigner. How a province is able to apply religious-based laws for citizens that not all agreed to although they hold the same ideas.

Some may ask, why bother fighting against this? Why not simply compromise to hold the harmony? Do not miss the point. When speaking about harmony, it is only a facade. A civilized individual will not slay others only out of disapproval of attires, of differences in ideologies, sexual orientation, working preferences, under the condition that it will not harm others.

The writer, an MA graduate from  the Dept of Peace and Conflict Research, Uppsala Universiteit, Sweden, 2005 currently works as a researcher in Centre for Political Studies, Indonesian Institute of Sciences (P2P LIPI) and in the INTERSEKSI Foundation. The view expressed is personal.

Demokrasi Lokal di Aceh Selatan Pasca MOU Helsinki


[Catatan Perjalanan dari Tapak Tuan, Aceh Selatan, 9-13 November 2007]

Aceh Selatan (South Aceh) map

Dua tahun telah berlalu semenjak perjanjian damai Helsinki untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh ditandatangani pada bulan Agustus 2005. Dengan perjanjian itu, salahsatu pihak yang berkonflik yaitu Gerakan Aceh Merdeka melakukan transformasi mendasar dari gerakan bersenjata ke politik, menyusul keikutsertaan kandidatnya dalam pilkada pada bulan Desember 2006, sebagai salahsatu agenda yang diamanatkan dalam MOU Helsinki. Dunia menyaksikan bahwa di Aceh, ‘perdamaian’ tidak sekedar merupakan penghentian kekerasan, melainkan suatu arena baru dimana para pihak yang tadinya berkonflik mendapatkan kesempatan untuk menyumbangkan pikiran dan idealismenya melalui program-program yang dikampanyekan secara publik ketika proses pemilu. Perdamaian dalam hal ini bukanlah sekedar pengakhiran kekerasan atau negative peace. Terbukanya ruang politik melalui Pilkada, diharapkan bisa mendukung perdamaian untuk jangka waktu yang lama, sekaligus memungkinkan berlangsungnya pembangunan untuk memenuhi keadilan ekonomi bagi rakyat. Bagi rakyat Aceh umumnya, Pilkada yang demokratis adalah penanda suatu babak baru setelah hampir tiga puluh tahun rakyat Aceh hidup dalam suasana ketertindasan yang menyebabkan hancurnya social fabric.

Tidak semua wilayah di Aceh dilanda konflik bersenjata dalam skala dan akibat yang sama. Tetapi umumnya, di daerah-daerah yang tadinya dikontrol secara ketat oleh aparat keamanan ketika konflik, ruang berekspresi otomatis hilang, demokrasi mati, sebab konflik bersenjata merenggut hak-hak rakyat untuk berkumpul dan berorganisasi. Fenomena matinya demokrasi lokal yang disebabkan oleh konflik bersenjata di Aceh ini terutama dialami oleh masyarakat akar rumput yang tinggal di gampong, sebutan bagi kesatuan hunian terkecil berdasarkan territorial yang serupa dengan sebutan ‘desa’ di Jawa.
Dengan kesepakatan damai dan berlangsungnya Pilkada di beberapa kabupaten di Aceh, ureung gampong atau warga gampong, saat ini dapat dikatakan tengah hidup dalam masa transisi politik. Sebagian besar menyambut kesepakatan perdamaian dengan sukacita. Ureung gampong turut dalam arak-arakan pesta kampanye, kemudian berbondong-bondong menuju bilik pemilihan untuk mencoblos foto kandidat yang dijagokan. Jika melihat wajah pilkada di Aceh yang damai di beberapa tempat, secara garis besar bisa dikatakan bahwa transformasi konflik berlangsung dengan damai. Namun, sebaiknya jangan tergesa-gesa mengatakan bahwa demokrasi yang substantif di Aceh telah terwujud, hanya dengan ‘penampakan’ bahwa ‘procedural democracy’ telah berlangsung sukses melalui Pilkada!

Apakah di semua wilayah di Aceh suasana damai benar-benar dirasakan oleh masyarakat di akar rumput? Bagaimana perdamaian dimaknai di gampong dan oleh ureung gampong, sebagai basis bagi apa yang disebut ‘masyarakat Aceh’? Sejauh mana masyarakat gampong terlibat dalam proses demokrasi yang dibuka oleh kesepakatan perdamaian?

Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi kerangka untuk meneropong demokrasi lokal dalam konteks paska MOU Helsinki, yang berlangsung di gampong di Aceh Selatan. Penulis selama beberapa hari memenuhi undangan untuk mengisi diskusi tentang demokrasi lokal dalam seri Dialog Kedai Kopi yang diselenggarakan oleh Save Emergency For Aceh (SEFA), sebuah organisasi yang telah lama aktif dalam mendorong demokratisasi dan advokasi isu-isu HAM serta dialog antar budaya di Aceh. Setelah melalui beberapa kali dialog publik di warung-warung kopi antara lain di Aceh Utara (Kota Lhokseumawe), Meulaboh (Aceh Barat) dan Aceh Tengah, kali ini dialog kedai kopi bertempat di Aceh Selatan, pada 13 November 2007 yang dihadiri oleh sekitar 15 orang keuchik (kepala desa) di Kecamatan Pasie Raja. Seusai acara tersebut, SEFA dalam waktu dekat ini merencanakan seri pendidikan demokrasi untuk pemilih pemula di Aceh Selatan.

Gampong di Aceh: Komunalisme yang Terkikis
Gampong merupakan konsep sosiologis sekaligus spasial berdasarkan teritori. Ia menandakan identitas masyarakat Aceh yang berasal dari daerah tertentu, yang telah tinggal secara turun temurun. Gampong merupakan kesatuan hunian ‘asli’ Aceh yang dikenal sejak sebelum Aceh menjadi wilayah kesultanan (Abad ke 16). Gampong adalah kesatuan wilayah hukum terendah yang asli lahir dari masyarakat, bahkan sebelum adanya mukim yang merupakan kumpulan beberapa gampong, yang muncul setelah masa kesultanan di abad 16 dan 17. Etnografer Belanda, Snouck Hurgronje dalam laporan ekspedisinya di Aceh sebelum berlangsungnya kolonialisme yang panjang di tanah itu mengemukakan bahwa gampong adalah wilayah adat, dimana terdapat perangkat keuchik, tuha peut (atau ureueng tuha) dan teungku atau imam meunasah. Masing-masing dari perangkat itu mempunyai fungsi tersendiri, bisa diibaratkan sebagai perpaduan antara ‘ayah’ dan ‘ibu’ dari masyarakat Aceh. Secara spasial, di masa Kesultanan Aceh gampong adalah merupakan kumpulan hunian di mana terdapat satu meunasah( atau surau); dan umumnya suatu gampong terdiri dari beberapa jurong (lorong), tumpok atau kumpulan rumah, dan ujong (atau ujung gampong).[1]

Di masa lalu, komunitas Aceh diikat oleh adat dan agama. Di gampong, komunalisme berdasarkan territorial berlangsung berabad-abad dan menjadi nafas bagi kehidupan orang Aceh. Keuchik sebagai pemimpin masyarakat adalah tokoh yang dihormati berdasarkan agama dan kejujurannya, demikian juga dengan tuha peut atau tetua kampung yang merupakan badan perwakilan gampong. Demokrasi asli ala Aceh ini tidak mengambil wujud perwakilan, tetapi dalam bentuk musyawarah atau mupakat adat yang diselenggarakan di gampong jika diperlukan. Keputusan yang akan diambil oleh keuchik melibatkan proses konsultasi di antara tuha peut. Sebelum berlangsungnya struktur pemerintahan administratif ala negara Indonesia, di atas gampong terdapat mukim, yaitu kumpulan beberapa gampong, sebagai tempat rujukan untuk masalah adat jika tidak dapat diselesaikan di gampong.
Demokrasi asli Aceh di tingkat gampong ini juga diwujudkan dengan adanya fungsi-fungsi pengaturan sumberdaya ekonomi sebagai basis kesejahteraan masyarakat Aceh. Maka itu, terdapatlah perangkat kejurun blang (pranata adat yang mengurus pengairan untuk sawah), petua seunebok, dan pawang uteun atau pawang glee. Masing-masing gampong dahulu adalah kesatuan masyarakat yang otonom, dan mengalami perubahan dengan berdirinya kesultanan Aceh, yang turut mempengaruhi stratifikasi sosial di Aceh, sehingga tidak lagi berbasiskan pada ulama dan uleebalang. Secara substantif, gampong mencerminkan nilai komunalisme masyarakat Aceh yang diwujudkan dalam keberadaan perangkat keuchik, imam meunasah dan tuha peut, dengan masing-masing menjalankan fungsinya di aspek pemerintahan sehari-hari dan ekonomi.

Gampong mengalami penindasan di masa kolonial, baik di masa Jepang maupun Belanda. Gampong berubah nama menjadi ‘desa’ ketika berlangsungnya pemerintahan Orde Baru yang menerapkan strategi kontrol territorial melalui penyeragaman wilayah dan satuan pemerintahan melalui UU No. 5/ th. 1979. Otonomi gampong dihancurkan oleh perluasan wilayah HPH, HTI, dan pembuatan kawasan industri. Tanah warga dibeli dengan harga 350 rupiah per meter persegi sebagai tempat markas militer. Ureueng gampong makin miskin, tertinggal, dan terjepit oleh konflik di sebagian besar wilayah Aceh. Meskipun gampong tetap menjadi sebutan bagi kesatuan masyarakat Aceh secara hukum positif dan adat, tetapi dalam praktiknya ia tidak lebih dari sekedar ‘unit pemerintahan terekcil di bawah kecamatan’. Para keuchik atau pimpinan gampong tidak lebih dari kepanjangan tangan birokrasi di atasnya, yang tunduk dengan skema pembangunan, tanpa dapat melakukan inisiatif untuk membangun gampong. Sama persis dengan nasib desa dan kelurahan di jaman Orde Baru. Bahkan, di masa konflik bersenjata, untuk memudahkan kontrol teritori aparat, gampong diklasifikasikan menjadi tiga bagian: hitam, abu-abu dan putih.

Ketika Indonesia memasuki masa reformasi, di bawah pemerintah Presiden Habibie dan Megawati, keberadaan gampong dipertahankan dalam produk perundang-undangan yaitu UU No. 44/ 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18/ th. 2001 tentang Otonomi Khusus NAD. Kedua produk perundang-undangan tersebut sekaligus merupakan awal dari proses resolusi konflik bersenjata di Aceh. Demikian juga, dalam klausul MOU Helsinki, keberadaan gampong secara implisit diakui dalam butir-butirnya mengenai adat Aceh. Gampong yang tadinya ditindas dan komunitasnya tercerai berai,secara perlahan mulai menemukan energi untuk bangkit dan menata dirinya. Terakhir, dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No.11/ th.2006 gampong diakui sebagai wilayah yang otonom.[2]

Demokrasi Lokal di Aceh Selatan Paska MOU
Para pegiat organisasi SEFA menyampaikan keprihatinan mereka bahwa kondisi demokrasi di Aceh sebenarnya belum pulih sepenuhnya paska MOU Helsinki. Bagi sebagian besar pegiat demokratisasi di Aceh, demokrasi tidak hanya berhenti ketika pemilu lokal terselenggara dengan baik dan lancar serta menghasilkan pemimpin-pemimpin baru. Namun lebih dari itu, demokrasi yang sesungguhnya hanya bisa tercapai manakala rakyat benar-benar ikut ambil bagian dalam proses demokrasi (prosedural) sekaligus ‘berdaya’ secara ekonomi dan politik, sehingga tidak lagi rentan ditindas oleh sistem politik apapun yang berlaku. SEFA, dan beberapa organisasi berbasis isu demokrasi dan HAM menyadari betapa situasi paska perdamaian telah memberikan keleluasaan bagi masyarakat Aceh untuk lebih megekspresikan dirinya. Hal ini diperlihatkan dalam konteks Aceh paska terjadinya bencana tsunami, dimana organisasi non pemerintah baik yang nasional maupun internasional, memasuki Aceh dan berinteraksi dengan masyarakat Aceh. Kesempatan terbuka lebar, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sebagian besar wilayah Pantai Barat (Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, banda Aceh dan Aceh Besar) untuk mengambil bagian dalam program rekonstruksi dan rehabilitasi. Di sisi lain, daerah-daerah yang tidak terkena tsunami namun mendapat dampak konflik yang cukup besar, seperti di Kabupaten Aceh Selatan, ruang kebebasan berekspresi tampaknya masih menjadi barang yang mahal.
Aceh Selatan berada di antara Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh Singkil. Awalnya daerah ini adalah kabupaten induk dari kedua kabupaten lainnya sebelum pemekaran wilayah administrative berlangsung. Lokasi nya yang terbentang di wilayah pantai Barat membuat topografis Aceh Selatan terbagi ke dalam dua wajah, yaitu wilayah pantai, dan wilayah pedalaman yang bergunung-gunung. Mayoritas etnis penduduk Aceh Selatan yang sekitar 190.000 jiwa (2006) adalah Aceh, dengan percampuran migrant dari Sumatra Barat yang terefleksi dalam dialek Aneuk Jamee sebagai tutur sehari-hari. Daerah ini dahulu hingga tahun 2003 terkenal dengan komoditi pala, bahkan di masa sebelum kolonialisme Belanda dimulai. Dalam catatan sejarahwan Anthony Reid, kalangan saudagar di Selat Malaka mengambil persediaan pala dari wilayah ini.[3] Sekarang, petani pala hampir tidak ada lagi di Aceh Selatan, sebab sejak 4 tahun yang lalu serangan hama mematikan pohon-pohon pala para petani, menyebabkan mereka beralih pada tanaman nilam, selain tentunya padi.

Wilayah Aceh Selatan bukanlah daerah yang terkena bencana tsunami, tetapi tingkat kemiskinan dan ketertinggalan infrastruktur cukup tinggi. Dampak konflik sangat dirasakan oleh penduduk Aceh Selatan, sebab berdasarkan informasi pernah terjadi pembakaran sekitar 3000 an rumah oleh TNI. Memang, kesan pertama penulis adalah bahwa daerah ini masih berada dalam kontrol yang ketat oleh TNI. Hal ini menjadikan Kabupaten Aceh Selatan seperti terkungkung dalam militerisme. Hingga saat ini, dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Selatan, beberapa di antaranya merupakan lokasi bagi keberadaan markas TNI Divisi 115 ( Di Kecamatan Pasie Raja, Trumon, Sawang dan Labuhan Haji) yang ada di tengah-tengah pemukiman penduduk.[4]
‘Tekanan’ yang dirasakan sebagai imbas dari konflik memang nyata di Aceh Selatan. Diskusi hampir batal karena pihak kepolisian Aceh Selatan belum juga mengeluarkan ijin untuk pelaksanaan acara, padahal surat telah dimasukkan kurang lebih 3 hari sebelumnya. Akhirnya, diskusi tetap berlangsung dengan para keuchik meskipun dalam setting forum yang lebih kecil. Dalam percakapan penulis ketika diskusi di kedai kopi Kecamatan Pasie Raja dengan beberapa keuchik (atau gesyik, di beberapa wilayah lain di Aceh) terungkap bahwa ureung gampong selama konflik senantiasa dipersepsikan sebagai ‘pendukung pemerintah’ (apalagi aparat atau perangkat gampong), atau pro TNI/ Polisi, oleh pihak GAM. Di sisi lain, warga juga dipandang sebagai pendukung GAM oleh TNI. Namun faktanya, penduduk gampong senantiasa berada dalam dilema, bahkan diserang dari kedua sisi. Gampong Pucok Krueng sebagai contoh, harus merelakan bangunan dan buku-buku taman bacaan umumnya musnah ketika konflik. Selain itu, tekanan terhadap gampong secara otomatis dialami juga oleh perangkat gampong, antara lain keuchik. Maka tak heran, suasana damai yang tercipta setelah MOU memberikan ‘sense of relief’ bagi mereka. .

Dari aspek demokrasi gampong, para keuchik merasa sekaranglah saatnya untuk merasakan perubahan setelah lama tertindas oleh konflik dan system politik yang mengungkung. Persoalannya, bagaimana mau mewujudkan demokrasi jika sendi-sendi ekonomi masyarakat berada pada titik nadir? Apalagi, sebagian keuchik di Aceh Selatan belum mengetahui bahwa sebagai unit pemerintahan terkecil, gampong juga memiliki sederetan kewenangan desa, yang ‘positif list’nya dikeluarkan oleh Depdagri. Demikian juga, setelah setahun dikeluarkan oleh Gubernur NAD dalam bentuk Surat Keputusan, para keuchik di Aceh Selatan belum pernah menerima informasi bahwa Gampong berhak atas dana ADG? Alokasi Dana Gampong, yang seharusnya diterima setiap tahun melalui provisi APBD. Bagaimana mau mewujudkan demokrasi lokal, jika perangkat gampong tidak dibantu oleh informasi yang cukup mengenai peraturan perundang-undangan tentang hak, kewenangan dan kewajibannya, oleh instansi di atasnya? Inilah pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh NGO dan pemerintah Aceh Selatan, jika ingin melihat masa depan warga gampong lebih sejahtera paska perdamaian. Warga gampong, dengan keterbukaan politik yang celahnya disediakan oleh UUPA No. 11/2006 berhak membuat asosiasi atau organisasi profesi. Maka itu, ide untuk membentuk asosiasi keuchik atau asosiasi kepala desa mendapat sambutan hangat dari peserta diskusi. Ruang demokrasi ideal menyediakan peluang untuk pembentukan organisasi-organisasi rakyat, dengan tidak mengesampingkan, bahkan memperkuat yang telah ada, untuk mempercepat terwujudnya hak-hak masyarakat gampong akan kehidupan yang lebih sejahtera.

[1]Sanusi M Arief, “Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami”, (Pustaka Latin: Bogor, 2005), hlm 11.

[2]Secara lebih khusus mengenai Pemerintahan gampong diatur dalam UUPA No. 11/ th 2006, Bab XV mengenai Perangkat Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota

[3]Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, The Netherlands and Britain 1858-1898, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1969).

[4]Keenam belas kecamatan tersebut adalah Labuhan Haji Barat, labihan haji Kota, Labuhan haji Timur, Meukek, Sawang, Samadua, Kluet Tengah, Tapaktuan, Pasie Raja, Kluet Utara, Kluet Timur, Kluet Selatan, Bakongan, bakongan Timur, Trumon, Trumon Timur.

(IHG)

Call for Peace in Central Aceh Falls to Deaf Ears


Helping the family to grind coffee beans.

Helping the family to grind coffee beans.

“There is no way to peace; peace is the way.”
(A. J. Muste)

One might wonder why after the long and winding road to reach the peace pact between the Government of Indonesia and the Free Aceh Movement, which signed in Helsinki, Finland on August 25, 2005– after the loss of hundred thousands Acehnese by the impact of earthquake and tsunami–violence still occur between groups in Aceh. Currently Aceh is undergoing a new phase of peace building where former rebel has elected as governor and the province is granted special autonomy by Law of Government Aceh No.11/2006. The peace pact which previously conducted under the supervision of the Aceh Monitoring Mission thus an international body, has been transferred to Indonesian government and the local authorities therefore (ideally) all security matters are fall into the jurisdiction of police force as it is the only authority which mandated to protect the security of all civilians. However again in Central Aceh, we are witnessing that ‘security’ has been manipulated by particular groups to maintain their short-termed interests.
There were obvious evidence that militias were involved in the displacement of the locals and the creation of insecurity of civilians. Nonetheless the Indonesian authority denied the existence of such groups prior to the signing of Helsinki MoU but strangely militias are mentioned under the ones who have the rights to receive reintegration funds. Up to today the remnants of having such groups has created backlash where peace building is supposed to take place.

Recently the national newswire and local papers were shocked by another killing and arson took place in Takengon, a beautiful landscape with high altitude located at the downhill of Central Aceh District. The incident which took lives of 5 KPA members happened at Atu Lintang, approximately located 30 kms out of town on Saturday morning on March 1, 2008. The latest incident occurred following one which happened on February 29th, at 10.00AM in Kota Takengon, where employment dispute took place between IPT (Terminal Workers Group) and Komite Peralihan Aceh (KPA) that resulted attack of 3 (some sources mentioned 4) KPA members. The latest news pictured less of crowd near the incident location and that police were on guard on the scene. The poor bodies of KPA (Aceh Transformation Commission/Komisi Peralihan Aceh) members have been evacuated to the nearest hospital however it was reported also that no further identification yet took place caused by heavy rain. Until today local sources informed that the police have already questioned 13 “witnesses” and one was considered as suspect.

The sad thing is that obviously the police in Central Aceh seemed not learnt anything from the history of violence in the area amidst former violence in 2002 where Central Aceh was polarised sharply during the height tension of armed conflict. Back in 2002 there was a failed international mediation to Aceh conflict. Takengon witnessed the burning of Joint Security Committee headquarter by militias following the flow of IDP s out of Central Aceh. Militia groups were established in order to maintain the areas within Indonesia’s territory thus transformed the armed conflict into one of intergroup conflict in the Gayo society, which is quite a multiethnic one, although it has been part of Aceh Sultanate in 16 century hence also part of Aceh Province.

There were obvious evidence that militias were involved in the displacement of the locals and the creation of insecurity of civilians. Nonetheless the Indonesian authority denied the existence of such groups prior to the signing of Helsinki MoU but strangely militias are mentioned under the ones who have the rights to receive reintegration funds. Up to today the remnants of having such groups has created backlash where peace building is supposed to take place. The latest incident once again proves that although many parties claimed that ‘violence between the two sides has ended’ there are still tones of issues that need to be addressed. Local tensions in Central Aceh included the stalling of reintegration funds, inequality of post conflict recovery projects in some areas, as well as the rivalries to welcome the next 2009 local election. The situation in Central Aceh also has been heightened by the call to form a separate province from Aceh.

Recent conversation via sms, email and phone to friends and sources in Banda Aceh and Takengon, from student activist, NGO worker, to member of BRA and KPA members; expressed their hopes that police is able to go thorough investigation in order to take the responsible parties into account. The expectation however seems ‘surreal’ if one understands the complex nature of society and politics in Central Aceh and its surroundings.

Specifically refer to the incident in Aceh Tengah, in my opinion we could not see this incident merely as spontaneous act which took by one group to another or merely seen as mass action from some groups of community to others. We must put the incident in line with the analytical view of broader sociological context of Central Aceh as an area which is undergoing peace process. We also must remember that peace pact was put into effect only upon the support of all Acehnese in the country and abroad whom have experienced the 30 years of suffer under the armed conflict. At least there are several requirements for peace agreement to work. There has been the successful mediation, the establishment of agency which transform the combatants into civilians, and the 2006 local election as a next step according to Helsinki agreement that opens the way for a democratic-led Aceh. Those have accomplished that in reality, now NGO s (local and international), BRA (Aceh reintegration Body), local government are the ones whom responsible in implementing the peace agreement.

One thing is clear that under the frame of sustainable peace building, local civilian authority, which included police force, must be aware that it is their responsibility to facilitate peaceful environment, by their ability to bridge communication among any groups from the grass root to the ‘elite’ level of society. Only with continuous dialogue on the importance to support the peace agreement among all level of Acehnese society, and not only via ceremonial events to celebrate peace pact or the disbursement of reintegration ‘projects’ that peace can be transformed into a more positive way which brings the ideal welfare to Aceh society in all districts.

A fisherman of 'depik' fish in Laut Tawar Lake, Takengon, Central Aceh

A fisherman of 'depik' fish in Laut Tawar Lake, Takengon, Central Aceh

(IHG)